Rabu, 24 Maret 2010

Belajar dari "Julie and Julia"


Teman2 sudah nonton film "Julie and Julia"?? Wow, pemain utamanya favorit saya hehehe.
Julie diperankan Amy Adams, sedangkan Julia diperankan Meryl Streep. Film ini disutradarai Norah Ephron ("You've Got Mail", "Sleepless in Seattle", "Michael") sedangkan ceritanya diadaptasi dari buku karangan Julie Powel.

Ceritanya memang bukan soal perang2an atau cinta2an, tapi lebih dalam lagi dari itu. Ini adalah film tentang dua perempuan beda generasi, yang tak saling kenal dan sama-sama memiliki tantangan dalam hidupnya. Film ini mengisahkan bagaimana mereka belajar lewat pengalaman 2, mengenali kelebihan dan kekurangan diri, memaknai hidup serta mengejar kebahagiaan mereka.

Julie adalah seorang perempuan muda, telah menikah dan belum diberi keturunan. Ia menjadikan kegiatan memasak sebagai hobi dan penghilang stress. Jemarinya tampak luwes meracik makanan, tubuhnya dengan sigap dan cekatan bergerak ke sana ke mari mengambil panci, memotong sayur, mencuci bahan-bahan masakan, atau memasukkan daging ke dalam oven.

Di luar dapur mungilnya, Julie bekerja sebagai customer cervice sebuah perusahaan membuatnya merasa bosan karena setiap hari harus selalu duduk di belakang meja dan menjawab telepon saja. Sesungguhnya, Julie memiliki bakat menulis. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai editor sebuah majalah dan pernah menulis novel yang tak tuntas dikerjakan.

Kehidupannya makin membosankan ketika bertemu teman2nya yang sukses, sementara ia terpuruk dalam pekerjaan yang tak disukainya, serta keinginan untuk sebuah pengalaman hidup yang baru, yang lebih menantang.

Didorong rasa bosan dan keinginan kuat untuk mendapatkan kepercayaan dirinya kembali, Julie mulai memikirkan hal2 yang menjadi kelebihan dalam dirinya.

Sang suami, Eric Powell (diperankan Chris Messina) mengingatkan Julie tentang bakatnya menulis dan memasak. Meski awalnya menyimpan keraguan, Julie akhirnya mulai menulis di blog tentang masakan. Tak main2, ia memasang target dalam satu tahun harus membuat 524 resep masakan dari tingkat dasar hingga yang paling sulit.
Resep2 itu ada di buku tebal dari pengarang favoritnya, Julia Child yang berjudul "Mastering the Art of Cooking". Julie Powell menamai proyek ini “Proyek Julie/Julia” dalam 365 hari.

Secara teratur ia memposting kisahnya di blog beserta resep dan proses pembuatan masakan-masakan dari buku tersebut.
Segala emosi campur aduk selama proyeknya berlangsung. Kadang putus asa karena masakannya tak sempurna, atau hampir menyerah karena tak ada komentar yang masuk ke blognya.

Lalu siapa Julia Child yang amat dikagumi Julie?
Cerita kemudian dibawa mundur ke tahun 1950, saat di mana Julia tinggal bersama suaminya di Paris. Perempuan penyuka makanan Perancis dan hobi memasak ini memiliki latar belakang yang hampir sama dengan Julie.

Keduanya mendapat dukungan besar dari suami masing-masing dalam hal memasak. Julie dan Julia juga sama-sama menikmati berbelanja bahan2 memasak di pasar2 sambil menyapa para pedagang.

Julie dan Julia dalam kehidupannya masing-masing berupaya untuk memaknai hidup mereka, menemukan gairah hidup mereka, dan mengejar ambisinya masing-masing.

Julia tertantang menerbitkan buku memasak yang kemudian menjadi buku terkenal dan kemudian menjadi tantangan bagi Julie untuk menyelesaikan seluruh resep itu dalam satu tahun.

Berhasilkah Julie meyelesaikannya ?! Bagaimana liku-liku kehidupan Julia hingga menghasilkan buku best seller "Mastering The Art of Cooking"??. Buruan nonton filmya.


Bagi saya, Julie dan Julia mengingatkan bahwa hidup ini adalah sebuah proses, hidup ini berisi pilihan-pilihan, dan ketika kita sudah meniatkan diri melakukan sesuatu, maka lakukanlah dengan riang, sepenuh hati dan tak mudah menyerah.

kangen menulis :)

Hampir dua tahun saya absen blogging. Rumah lama saya di www.desysaja.blogspot.com sudah lama saya tinggalkan. Bosen melihat tampilannya hehehe.

Dunia saya yang baru (baca: sebagai istri dan ibu rumah tangga) adalah dunia petualangan baru yang menyita waktu hehehe, sok sibuk niy ceritanya.
Saya dan suami berpacaran kurang dari tiga bulan, jadilah masa setelah menikah (25 Desember 2008) adalah saatnya pacaran lagi hehe.

Banyak perubahan terjadi sejak status di KTP tak lagi 'single'. Sejak menikah jadi mulai mikir harus bangun pagi dan memasak untuk sarapan suami hahaha, padahal namanya wartawan hiburan (liputannya malah hari melulu) lebih sering bangun siang daripada bangun pagi.

Penyesuaian itu juga termasuk perbedaan pendapat,perbedaan kebiasaan di rumah, dan masih banyak lagi yang lain. Sehingga kebiasaan menulis di blog jadi terlewatkan.

Sekarang, saat jemari saya mulai mengetik untuk blog ini, saya menyadari bahwa menulis tak hanya sekedar karena saya menulis, menulis bukan hanya karena saya baisa smembikin tulisan panjang untuk film, teater, atau konser yang baru saja saya saksikan. Tapi menulis adalah sebuah terapi bagi saya. Terapi untuk menyembuhkan jiwa yang pernah terluka dan tercabik2 ini (haiyaaa mellow gini gue :D).

So, here I am, start blogging again :))

Selasa, 23 Maret 2010

seperti terlahir kembali...

Sebenarnya tak ingin curhat, tapi mau bagaimana lagi ya, setiap kali bertemu teman2 yg sudah lama tak bersua, mereka selalu menanyakan detail kabar saya. Jadi daripada mereka bertanya terus, lebih baik cerita di sini, biarkan mereka membaca sendiri saja...

Sesungguhnya saya tak berani menjawab, bahkan tak ingin menjawab pertanyaan mereka tentang perasaan saya dan suami skrng atau tentang bidadariku Kamila. Setiap kali ingin menjawab, tenggorokan saya tercekat, mata saya mulai terasa panas dan berair. Rasanya ingin kubisikkan pada teman2ku: i'll be alright, i just need time. Time will heal :) but please, don't ask me about her now.

Sekarang ini, sejujurnya saya merasa tak seperti dulu lagi. Seperti terlahir kembali dengan keadaan yang berbeda, di mana saya harus belajar banyak hal dari nol lagi.
Sungguh tidak mudah, tapi juga tidak sulit karena saya berusaha keras untuk bangkit kembali.

Keterpurukan itu berawal dari kepergian putriku setelah 10 jam dilahirkan lewat operasi cesar. saya merasa terpukul, stres, depresi, lalu kekuatan fisik menurun drastis, dan mulailah penyakit2 menyerang.

Dua setengah bulan saya berjuang melawan bakteri yang menggerogoti lapisan kulit perut saya akibat infeksi pasca operasi cesar. Dalam jangka waktu tersebut, saya juga harus menjalani dua kali operasi, serta empat kali opname di rumah sakit.

Dokter mengatakan sakit saya tak bisa sembuh total, dan bahkan tak ada obat yang mujarab menyembuhkan.
Dalam keadaan lemah di atas pembaringan dan rasa kehilangan yang teramat dalam, saya bisikkan syukur pada Allah: ada suami dan keluarga besar saya yang memberi dukungan luar biasa. Alhamdulillah, mereka tak kenal lelah menyemangati saya agar segera pulih.


Teman2 di Facebook, teman2 di kantor bahkan atasan saya memberikan perhatian yang cukup besar pula. Semua itu membuat saya bertekad untuk bangkit kembali. Saya mulai makan teratur, minum obat2an herbal buatan bapakku tercinta, minum sari ikan gabus buatan mertua (yang amisnya minta ampun dan ga enak sama sekali hehehe). Saya juga selalu tekankan pada diri sendiri bahwa saya bisa sembuh, Allah sayang

1 Maret 2010 menjadi sebuah awal baru bagi saya. Untuk pertama kalinya saya keluar rumah, belajar berjalan, belajar duduk agak lama, dan belajar "bertemu" dengan orang lain (sejak Kamila pergi saya sempat menutup diri dari semua orang yang datang, saya tak sanggup melihat kesedihan di mata mereka atau menjawab pertanyaan tentang penyebab meninggalnya Kamila).

Pada sata itu pula saya injakkan kaki di pesawat Sriwijaya yang membawa saya kembali ke Jakarta. Luka bekas operasi masih sangat sangat nyeri, saya juga tak kuat berjalan atau berdiri agak lama. Tapi bapak yang mengantar saya ke Jakarta meyakinkan bahwa kelak saya bisa sehat lagi, bisa punya anak lagi, dan bisa lebih sabar serta tabah menghadapi persoalan hidup selanjutnya.

"Tidak semua orang bisa menjalani apa yang kamu alami sekarang, nduk. Kamu harus bersyukur Tuhan memberimu kekuatan untuk bangkit kembali. Jangan menyerah," kata bapakku dengan mata berkaca-kaca.

Proses adaptasi dan pembelajaran berikutnya adalah di kantor. Tak mudah masuk kerja pada hari pertama, saya "mendekam" di ruang Setper dan tak mau keluar ruangan terlalu sering. Lagi2 saya masih takut bertemu teman2, takut ditanya tentang Kamila, takut tak kuasa menahan air mata.

Hari kedua, saya datang dan pulang kantor dengan kepala tertunduk dalam2. Petugas keamanan gedung, pak satpam, resepsionis dll menyapa saya sambil menanyakan kabar, menanyakan Kamila, dan menanyakan bagaimana lucunya Kamila sekarang, atau sudah bisa apa Kamila sekarang.

Sungguh, saya ingin lari saat itu juga. Walaupun akhirnya saya jawab saja sebisanya, tanpa menjelaskan bahwa bidadariku itu telah pergi.

Bu Nana (my bos) mengatakan "pertanyaan teman2 itu adalah bentuk simpati dan rasa kasih sayang padamu, Desy. Jangan salahkan mereka atau jangan menghindar dari pertanyaan mereka. Hadapi dengan kuat,".

Yaaaa dan akhirnya saya bisa menghadapi itu semua. Belajar dan memulai semua dari awal lagi.
Sekali lagi, itu tak mudah. Kadang diam2 saya menitikkan air mata, teringat bagaimana Kamila di dalam perut selalu merespon lagu2 yang saya gumamkan, atau bergerak2 ketika saya ajak shalat dan mendoakan kami sekeluarga, atau ketika si ayah mengajaknya bicara.

Hmmmh....i told myself, life must go on, Des. Kamila is part of your life that you cannot forget. Save a place in your heart for her and pray to God, that you'll be together with her in heaven. Amiin.

mengalahkan rasa takut

Entah berapa kali kukatakan pada suamiku, pada bapakku, atau bosku di kantor bahwa "aku takut ini, "saya takut itu", "saya nggak berani melakukan ini" atau "sata takut hasilnya tidak bagus dan memuaskan'.

Pokoknya takut pada banyak hal. Gila, saya hampir dibuat gila dengan rasa takut yang mendera diri dan membelenggu selama berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun. Tak tau kapan rasa takut itu mulai datang, tapi saya benar-benar merasa akan melakukan kesalahan setiap kali melakukan sesuatu hal yang baru.

Karena rasa ini semakin mengganggu, saya coba memberanikan diri untuk mulai berpikir bagaimana mengalahkan rasa takut ini. Saya teringat DUFAN, yeah tempat "uji nyali" pikir saya :) mungkin buat sebagian orang langkah ini biasa saja, tapi buat saya yang jantungan dan takut ketinggian, mencoba permainan di Dufan bukan hal mudah (duuh ndesonya saya ini).

Begitu masuk ke Dufan, saya "warming up" dengan naik Bianglala. Well, ini sih biasa aja ya. Lalu mulai bergeser ke Kora-Kora yang sukses bikin saya ketawa ngakak karena geli dengan goyangan perahu raksasa itu. Meski banyak meremnya dibanding melek melihat perayu berayun, tapi setidaknya saya akhirnya berani naik Kora-Kora hahahaha.

Hmmmh, saya tak mau membuang waktu lama untuk mencoba Extreme Log, Rajawali, Halilintar, Niagara-gara, dan Arung Jeram.

Adik saya memberi selamat karena akhirnya berani juga naik roller coaster hehehe, dia belum tau aja tips cepat yang saya dapat waktu itu.

Dan.....akhirnya saya berhasil mengalahkan rasa takut saya. Kami pulang dari Dufan jam 8 malam. Puas rasanya. Apalagi saat di atas berbagai permainan itu saya bebas berteriak dan meluapkan emosi, meluapkan rasa takut saya hahaha. sungguh seru petualangan hari itu.

Sungguh, lebih dari sekedar jalan2.