Senin, 19 November 2012

Uji Kompetensi Wartawan

Beberapa waktu lalu, tepatnya 9--10 Nopember 2012, saya mengikuti UKW (Ujian Kompetensi Wartawan).

Kantor saya, ANTARA, memang menjadi salah satu penyelenggara ujian ini. Sebuah tahapan yang haru saya lalui, terdiri dari serangkaian tes tentang dunia jurnalistik.

Waaaw harusnya kalau sudah menjadi tugas sehari-hari ya ga usah di tes ya. hehehe.
Tapi ya sudahlah, karena ada surat undangan dan nota dinas dari perusahaan, mau tak mau saya harus ikut.

Karena pemberitahuan yang mendadak, yakni satu hari sebelum tes, maka reaksi saya saat itu adalah PANIK! disusul kemudian SAKIT PERUT! hahaha. Selalu seperti ini setiap kali akan ikut sebuah "tes" atau "ujian". Terlalu nervous.

Dalam waktu yang singkat saya coba baca2 lagi buku tentang jurnalistik, buka UU Pers, baca2 Kode Etik Jurnalistik, dll.

Malam itu, sebelum ujian, saya sukses tak bisa tidur. Bukan hanya memikirkan akan seperti apa ujian esok, tapi karena si kecil sedang rewel dan ingin ditemani tidur, ditambah lagi masalah air PAM JAYA yang tak mengalir sejak siang tad. Hingga larut malam saya dan orang rumah harus menggotong2 galon air isi ulang untuk keperluan memasak dan mandi keesokan hari.

Malam itu, saya juga direpotkan dengan HP saya yang ketinggalan di kantor dan baru ingat setelah sampai rumah *jadi saya balik kantor lagi untuk ambil hp itu hahaaaa.

Keesokan harinya saya melangkah ke tempat UKW dengan perasaan makin campur aduk hahaha. Malamnya tak bisa belajar, masih ngantuk pula karena sampai dini hari si kecil tak mau tidur.

Rasa deg2an akhirnya berangsur sirna ketika ujian dilaksanakan. Para penguji, dari Dewan Pers dan dari ANTARA, memberikan pemahaman dan alasan2 mengapa UKW harus diikuti wartawan di Indonesia.

Ujian dimulai. Saya masuk kelompok wartawan muda. Nama penguji saya Teguh Priyanto. Kepala Sekolah Lembaga Pendidikan Jurnalistik ANTARA (LPJA). Beliau juga senior saya di ANTARA, sering mengedit tulisan2 feature saya juga.

Naaah, seperti apa ujiannya, kami memulainya dengan rapat redaksi. Sebenarnya rapat redaksi sudah menjadi bagian dari kegiatan sebagai wartawan ya, tapi karena kali ini dinilai oleh para penguji, maka suasanya jadi terasa "berbeda". Semua ingin bicara, semua angkat tangan, semua ingin terlibat di rapat redaksi. Agak deg2an juga, bahkan ada peserta yang bicara terburu2, suara bergetar, dan kikuk. Sungguh berbeda dengan rapat redaksi biasanya, kami bisa ngobrol soal peliputan dengan santai dan tidak canggung hehehe.

Setelah rapat, kami mulai menyusun tema peliputan, siapa narasumbernya, dst. Kami juga dinilai tentang bagaimana menyikapi sebuah konferensi pers, bagaimana menyusun skala prioritas liputan, bagaimana membangun jejaring, serta bagaimana membina hubungan profesional dengan narasumber.

Saya juga diharuskan liputan ke lapangan. Tak jauh sih, hanya di lingkungan sekitar lokasi ujian. UKW dilaksanakan di gedung ANTARA Pasar Baru, sehingga liputan saya tak jauh dari situ, yakni Pasar Baru.

Liputannya tetang tekstil di pasar yang telah berdiri sejak 1802 itu. Saya hanya punya waktu 45 menit untuk liputan, memotret, dan menulis berita. Saya lari tunggang langgang segera memburu narasumber.

Setelah liputan, kami menulis dan mengedit berita. Di hadapan penguji, kami diminta untuk menunjukkan bukti rekaman dan catatan wawancara, hasil foto beritanya, dan nomor telpon si narasumber.

Kegiatan semacam ini, mungkin sepele ya. Hanya meliput dan menulis beritanya. Narasumbernya juga bukan menteri atau politisi, kali ini hanya pengelola toko dan pembeli kain di toko tekstil Pasar Baru. Biasa aja ya?

Nggak juga. Menurut saya, yang sudah lama tenggelam di dunia yang saya geluti sekarang -news editor untuk antaranews.com- sering lupa untuk disiplin melakukan kerja jurnalistik. Kadang lupa motret, lupa merekam wawancara karena merasa sudah cukup menulisnya di buku catatan atau ketik langsung di ponsel, dan kadang lupa meminta nomor telpon yang bisa dihubungi hehehehe.

Saya juga sempat kelabakan saat diminta untuk menyebutkan para narasumber yang nomor kontaknya ada di HP dan database. Jujur, saya tidak mengupdate para narsum saya. Banyak faktor penyebabnya, semua nomor yang tersimpan di ponsel hilang saat saya mengupgrade ponsel tersebut.

Database yang ada di laptop juga raib.

Dari hal2 semacam itu saya introspeksi diri sendiri. Apakah dengan yang sudah saya lakukan ini sudah bisa disebut kompeten? Sering wartawan datang ke jumpa pers, kemudian meliput, lalu membuat beritanya.

Padahal, wartawan seharusnya bisa lebih kritis dan tidak boleh lekas puas dengan informasi dari jumpa pers saja. Wartawan harus paham arah dan tema tulisannya sejak dia akan berangkat liputan. Dia tau isu apa yang akan diangkat, dia juga mempertimbangkan isu yang "laku" dan yang ditunggu2 publik, yang sekiranya akan dicari dan dibaca banyak orang.

Masih banyak hal lainnya yang saya dapat dari UKW. Dan saya merasa senang bisa mengikuti ujian itu. Meski sampai sekarang saya masih menyimpan tanya "apakah memang harus dan perlu semua wartawan di Indonesia ikut UKW?, mengapa harus ada biaya yang cukup besar untuk ikut UKW, sementara wartawan masih terseok2 memperjuangkan upah layaknya, melihat banyaknya jumlah tim penguji yang juga dari kalangan media apakah mereka bisa cukup adil dan independen, apakah pemberian nilai itu sudah cukup fair, lalu bagaimana bila ada wartawan "bodrek" yang ikut dan ternyata lulus ujian, bagaimana bila dia menerima kartu tanda lulus UKW dan dia lantas menyalahgunakan kartu tersebut.

Ahhh masih banyak hal yang membuat saya bertanya2 tentang implementasi ujian ini.

Btw, saya lulus setelah melalui ujian selama dua hari itu. Apakah ada yang tidak lulus? hmmm bilang nggak ya hahaha. Alhamdulillah tidak ada yang tidak lulus di angkatan saya ini (sekitar 32 orang peserta).

Apakah ada yang tidak lulus? ada! Mungkin ada beberapa orang  di luar sana ya. Saya pernah mendengar, seorang wartawan tak lulus karena dia mengumpulkan tugas penulisan yang dia kloning dari tulisan orang lain. Dan hal itu diketahui sang penguji. Dia dinyatakan tidak lulus.












Kamis, 25 Oktober 2012

Trip to Lombok

Yes! Akhirnya saya jalan2 lagi ke Lombok!

Dalam waktu sesingkat-singkatnya, dan tempo secepat-cepatnya hahahaha.
Hanya sehari semalam loh ya, percaya atau tidak, memang gak cukup waktu sesingkat itu untuk mengunjungi tempat saya pernah bulan madu bersama suami tercinta.

Tapi yang namanya tugas liputan tak bisa ditolak. Saya berangkat!

Dan ternyata, saya mendapati bahwa, ternyata pola pikir saya ketika akan liputan (yang harus menginap) ketika saya masih single dan sekarang sudah punya batita ternyata berbeda! Hahaaa.

Dulu satu tas saja cukup untuk menginap semalam. Dulu juga tak terlalu repot dengan barang bawaan. Yang penting perlengkapan liputan dan perlengkapan pribadi sudah masuk tas. 

Sedangkan sekarang, yang ada dalam benak saya adalah: bagaimana caranya memerah ASI dan menyimpan ASIP saya ketika di perjalanan.

Sepanjang malam saya kepikiran hal itu. Beberapa kali saya cek tas travelling, memastikan barang2 ini tak tertinggal:
  1. Pompa ASI
  2. Plastik ASIP
  3. Ice gel
  4. Tas ASIP
  5. Breast pad
  6. Saputangan atau lap handuk kecil 
Setelah semua masuk, saya sedikit lega. Sisanya masih diliputi kecemasan: bagaimana kalau saya harus memompa ASI tapi tidak ada waktu karena jadwal liputan yang padat, bagaimana kalau di ASIP saya tak bisa disimpan di kulkas atau freezer, dst.

Semua pertanyaan-pertanyaan yang menari-nari di pikiran saya itu akhirnya terjawab sudah keesokan harinya.

Di bandara, saya bertemu dengan Mba Sandra, dari Citilink, maskapai penerbangan yang mengundang saya ke Lombok bersama teman2 wartawan lainnya.

Kepada perempuan muda belia ini saya sampaikan bahwa saya seorang ibu menyusui.
Dia terkejut! Heran! Takjub! Hahaaa. Mungkin dia membatin: berani2nya masih nyusuin batita ikut liputan ke luar kota :))

Dia lalu merangkul saya dan menanyakan: bawa pompa ASI? Bawa ice gel? Kalau nanti mba harus memompa ASI beritahu saya ya, kita tungguin kok.   

Kepala saya serasa diguyur air es! *nggak lebay*
Asli, saya senang sekaligus lega. Karena ada orang yang proASI di dalam rombongan besar ini. Rombongan wartawan pulak, yang biasa mengerjakansesuatu serba cepat dan gak mau menunggu2 orang dalam waktu lama. 

Jadilah penerbangan dari Jakarta ke Surabaya (untuk selanjutnya ke Lombok) saya lalui dengan nyaman. Saya bisa memompa ASI dengan tenang dan tidak takut diburu2.

Mba Sandra juga sangat proaktif menghampiri saya dan menanyakan apakah saya sudah cukup nyaman. Dia bercita-cita kelak akan memberikan ASI eksklusif untuk buah hatinya. Amiin. Mudah2an doanya terkabul ya Mba.

Di Surabaya, saat rombongan kami transit, saya bergegas menuju nursing room Bandara Internasional Juanda.

Waaaw, saya terkagum2 melihat ruangan ini. Bersih, wangi, dan lengkap fasilitasnya.

 
Nah, bagus ya tempatnya? Di dindingnya ada poster2 dari AIMI-ASI. Tentang cara menyusui, cara memerah ASI, dll.

Tempat untuk mengganti popok, tempat sampah dan tempat mencuci tangan juga bersih dan rapi. Saat membuka pintu masuk, tercium bau wangi parfum ruangan. Ini nih namanya nursery room yang keren! hahaha. Thanks ya Angkasa Pura sebagai pengelola Airport Juanda hihihi



Di tempat duduk ini aku menyandarkan punggung sambil pumping hehe. Nyamaan. Selesai pumping, masukkan ASIP ke plastik dan disimpan di tas. Stlh itu, siap terbang ke Lombok. Horeeee!



















Kamis, 04 Oktober 2012

Haloooo sudah lama sekali ga nge-blog hehehehe...

Kesibukan menjadi ibu, kerjaan, jualan, dengan segala jungkir baliknya membuat saya lupa untuk menulis *nyari alesan :D
Banyak hal yang terjadi dalam dua tahun terakhir. Hamil, melahirkan, menyusui dan membesarkan Zha.

Ya, sekarang memang seluruhnya dicurahkan untuk Zha, membuat saya makin fokus mencapai tujuan hidup.

Hal pertama yang menjadi prioritas untuk dia adalah ASI!
Maka ketika Zha lahir, hal pertama yang kami siapkan bukan fokus pada pakaian dan semua perlengkapannya, tapi soal Air Susu Ibu!

Kami sibuk memilih pompa ASI, berguru ke klinik laktasi, beli plastik untuk menyimpan ASIP, beli nipple shield, beli gelas ASI (karena Zha tak dikenalkan pada dot), dan alat steril botol.  Khusus alat steril botol, saya mendapat hadiah dari seorang sahabat. Merknya Phillips yang saya yakin harganya jutaan hahaaa, beruntungnya saya.

Si ayah juga ikutan sibuk mengunduh video di youtube tentang cara menyusui yang tepat, atau tutorial tentang meredakan stres ibu setelah melahirkan dan agar ASI tetap lancar. Video2 itu disimpan di smartphone saya dan bisa saya putar setiap saat bahkan ketika menyusui Zha.

Saya juga ikutan milis ASI for Baby. Di situ saya membaca curhatnya para ibu dan mendapat banyak tips menyusui.


Alhamdulillah, Zha sudah usia 17 bulan pada Oktober ini. Selama 6 bulan pertama kelahirannya bisa full ASI. Dilanjut MPASI dan tetep minum ASIP selama saya tinggal kerja.
Bukan hal yang mudah memang untuk mempertahankan semangat dan idealisme untuk menyusui bayi kita. Dan saya bisa memahami para ibu yang dikarenakan banyak hal tidak bisa menyusui langsung bayinya. *Asal jangan terlalu cepat menyerah dan memberikan susu formula ya bunda...

Memberikan ASI untuk bayi memang tidak semudah mengeluarkan payudara dan memberikan putingmu pada si bayi untuk diisap ASInya. No! bukan itu.

Menyusui memerlukan kesabaran, ketenangan batin, dan perasaan yang senang.
Menyusui memerlukan komitmen jangka panjang seorang ibu, dukungan ayah, dukungan perusahaan, juga orang-orang di sekitar kita.
Menyusui juga memerlukan keteguhan diri dan pengorbanan. Apalagi untuk para ibu yang bekerja.


Saya sendiri mengalami repot dan hebohnya kalau harus ngantor dari pagi sampai sore. Harus bawa pompa ASI (karena memerah memerlukan waktu lebih lama dan saya merasa pompa lebih praktis), bawa ice gel, tas ASIP, dan meluangkan waktu sekitar satu jam untuk memompa dan menyimpannya.

Karena di kantor tempat saya bekerja tidak ada tempat untuk pumping dan menyusui, maka saya numpang mompa di ruag klinik dokter. Itupun baru bisa saya lakukan ketika si dokter sedang shalat. Dokter Ratna, adalah dokter proASI, dan dia merelakan ruangannya, juga kursinya untuk saya tempati selama satu jam hehehehe. Karena waktunya terbatas, maka saya juga -kadang- agak kurang tenang dalam memompa, rasanya seperti diburu2 gitu. Kondisi ini memang agak ga nyaman, tapis aya syukuri saja. DAripada saya harus memompa ASI di toilet!

Setelah pumping, biasanya yang lebih repot adalah mencari kulkas untuk penyimpanan sementara ASIP. Saya menitipkannya di kulkas koperasi di kantor. Sedih dan malu sebenarnya, sebab kulkas itu berkaca bening dan setiap orang yang akan membeli minuman di dalam kulkas itu akan mengangkat plastik ASI itu dan menanyakan isinya pada penjaga koperasi. Hehehehe, saya maluuuuu :D

Itu belum termasuk kalau saya harus liputan ke luar kota loh ya! Waaaw itu lebih heboh lagi hahaha. Seruuu.
Tapi selama ini Zha saya tinggal pergi PP atau maksimal menginap satu hari saja. Itupun saya tetap menenteng tas ASIP, pompa, ice gell dan bila diperlukan bawa2 ES BATU !! wkwkwk.

Selama saya pergi liputan sehari semalam, Zha juga teteap minum ASIP yang saya siapkan di freezer. Si mbak pengasuh yang memberikannya.

Soal menyusui kadang memang merepotkan, tapi juga sangat menyenangkan dan bikin kangen.
Saya selalu tidak bisa tidur pada malam hari ketika jauh dari Zha. Saya juga stres berat ketika Zha menolak menyusu. Gara2nya dia jatuh dan bibirnya terluka. Selama empat hari dia tidak mau menyusu karena bibirnya sakit :((( saking stresnya, saya marah2, ngomel2 dan memaksa Zha nenen. Hufftthh...


Mei tahun depan Zha genap 2 tahun. Insyaallah dan mudah2an proses menyusui ini berjalan lancar. Amiin.
Buat ibu, bunda, mama, yuk berikan ASI untuk si buah hati. Kuatkan hati dan teguhkan niat demi buah hati kita. Smangaad !!! ^_^