Jumat, 17 September 2010
Ramadan Penuh Hikmah
Menyenangkan sekali Idul Fitri tahun ini bisa berkumpul bersama keluarga. Menyisakan cerita dan foto2 keluarga, dan rasa letih setelah keliling rumah saudara untuk silaturahim.
Bersama keluarga besar Balillah di Jakarta, aku dan suami merayakan lebaran :) Cinere, BSD lalu ke Bintaro. Hasilnya ??? Tired !! But (always) happy...
Disebuah keriuhan acara Temu Keluarga Balillah, tiba2 si kecil Nada (3), keponakanku, memegang perutku sambil berkata seperti ini:
Nada: Aunty Desy, perutnya sudah ada dedeknya belom ? Dedeknya sudah ada lagi ?
Me: Belum, Nada. Doakan aunty ya..
Nada: Iya....(lalu spontan dia menengadahkan kedua tangan di depan dadanya, memundukkan wajah) Bismillah...Ya Allah Berikanlah Aunty Desy dedek lagi ya Allah. Amiin.
*speechless*
Dua kali Nada bertanya dan dua kali pula dia mendoakan. Terenyuh juga. Sejak dia tahu aku mengandung Kamila, Nada selalu menyentuh perutku yg membesar, atau kadang2 menanyakan kapan Kamila lahir agar dia punya teman bermain.
Ketika Kamila meninggal, Nada juga tahu dan dia ingat episode itu, meski usianya belum genap tiga tahun. Terobsesi doa Nada, aku membeli test pack, alat uji kehamilan. Hasilnya ?? Ada dua strip !!! Subhanallah.
The next day, i went to a hospital and met the doctor. He said, yeap you're pregnant mom :) Alhamdulillah.
"Robbanaa Hablanaa min azwaajinaa, wa dzurriyaatinaa qurrotta a’yun, waj’alna lil muttaqina imaamaa"
Pasrah, ikhlas, dan tawakal.....
Rabu, 08 September 2010
Mudik Lebaran
Teman2 sudah mudik, pedagang kue, baju, toples, semua (mungkin) sedang menghitung keuntungan. Terminal, stasiun, pelabuhan, semua dipenuhi penumpang. Semua ingin merayakan Idufitri bersama keluarga....Ke Padang, Makassar, Surabaya, Madura, Malang...ahhh kota yang terakhir tersebut yang paling kurindukan.
Tempat di mana aku lahir, membesar, sekolah dan belajar banyak hal tentang hidup, lalu menikah, dan melahirkan. Bahkan pusara Kamila juga ada di sana.
Tapi lebaran kali ini aku tak berdaya hehehe. Dua orang yang paling punya andil dalam hidupku, Ibuk dan Bapak, melarang aku dan suami mudik.
"Kami yang ke Jakarta, sekalian pindahan barang2nya adikmu ke Malang," begitu kata ibuk.
Alhamdulillah, silaturahim ini tetap terjaga. Merasakan Lebaran di Jakarta bukan hal pernah ada dalam impian kedua orangtuaku.
Lebaran selalu identik dengan mudik ke Sumbermanjing Kulon, sebuah desa di dekat Pantai Laut Selatan. Desa yang selalu menjadi magnet untuk kami semua. Tempat di mana kenangan terukir di sana.
Bermain di pematang sawah, naik sepeda angin menyusuri jalanan yang diapit kebun tebu, main air di sungai depan rumah mbahku, atau mandi sekalian di situ hahahaha...Belum lagi kalo si mbah putri yang kupanggil "Emak" ngomel2 karena bajuku basah semua, atau keasyikan bermain sampai lupa makan dan tidur siang.
Lebih seru lagi ada adegan kerjar2an antara Emak dengan aku dan almarhum Mas Dian. Wooow suasana siang bakal makin seru. Biasanya yang jadi penyebab adalah kenakalanku :)) melompati jendela kamar untuk menghindari tidur siang, atau bermain di kebun samping rumah sampai badan ini bentol2 semua digigit nyamuk hehehe.
Lebaran, mudik, dan kenangan. Setiap kali lebaran anganku selalu terbang ke kampung halaman. Sudah dua kali lebaran ini kami tak pulang, tapi toh makna Idulfitri tak hanya soal pulang kampung dan berkumpul bersama orang tua dan saudara.
Ribuan orang di dunia ini ada pula yang bisa merasakannya. Jadi aku tak merasa sendiri.
Lebaran di Jakarta juga tak kalah asyiknya hehehe, bisa menikmati lengangnya jalanan dan sepinya pusat pertokoan.
Bersilaturahmi dengan tetangga dan saudara2 dari suamiku yang tinggal di Cinere, Utan Kayu, Tangerang.
Selamat Hari Raya Idulfitri 1431 Hijriyah, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Semoga Allah mempertemukan kita kembalid engan indahnya Ramadan tahun depan. Amiin Ya Rabbal Alamin.
Sudah cukup bloggingnya, sekarang saatnya memasak ketupat, opor ayam, dan sambal goreng kentang hehehe...
Ikhlas...
Sebuah sms saya terima menjelang tengah malam tadi. Dari sahabat yang meminta agar kami semua mendoakan Pak Hary Suryawan, kawan kami di tempat kerja, ANTARA.Semoga diberi kesembuhan. Amiin. Demikian kira-kira inti sms itu.
Saya terhenyak...terdiam dan spontan saya balas sms itu: semoga yang terbaik untuk beliau. Amiin.
Angan saya kemudian terbawa ke medio 30 Desember 2009. Saat Kamila meregang nyawa sendiri di tempat tidur ICU Rumah Sakit Panti Nirmala, Malang. Saat itu saya yang masih dalam pengaruh bius usai melahirkan melalui SC tak hentinya berdoa, Tuhan selamatkan anak saya...Tuhan ijinkan dia tetap hidup dan bersama-sama saya. Doa ituuuuu terus yang saya ucapkan.
Dan sepanjang saya mengucap doa itu, sms dari mas wewen mengalir deras ke hp saya mengabarkan bahwa kondisi Kamila makin tidak stabil.
Tepat ketika adzan maghrib, saya merasa terlalu egois jika meminta agar Kamila tetap tinggal bersama saya.
Perlahan dalam suara yang terbata...saya membaca surah al-Ikhlas. Mama membisikkan pada saya...ikhlas ya Desy...ikhlaskan Kamila.
Saya kemudian berdoa, Ya Allah, saya ikhlas. Saya menghendaki yang terbaik untuk Kamila, dan untuk keluarga saya. Apapun itu, sepahit apapun KeputusanMU, TakdirMu, saya yakin itu yang terbaik untuk Kamila, Ibunya, dan Ayahnya. Amiin.
Selesai saya membaca doa, saya merasa lebih tenang, dan kemudian tibalah pesan itu...dari suami saya yang sedang menunggui Kamila. Dia pergi selama-lamanya. Syahrazad Kamila Razi, seorang muslimah yang sempurna, buah cinta Ria dan Zein Isa, begitulah kira2 makna namanya.
Dan...takdir Allah membawanya menjadi insan yang Kamil, yakni sempurna, tanpa dosa.
Pagi ini, 7 September 2010...28 Ramadan 1413 H....
Kepada Allah yang begitu dekat dengan kita semua, kita doakan yang terbaik untuk Pak Hary dan keluarganya. Agar senantiasa dalam dekapan dan kasih sayang Allah SWT.Amiin ya Rabbal Alamin.
Lekas sembuh ya pak....
Senin, 06 September 2010
"Rumah Baru"
"rumah baru" sudah selesai dikerjakan.
Hmmm...au revoir desysaja....wilkomen nach "desysaputra"....
Kamis, 26 Agustus 2010
(makin) kangen menulis
Tahun ini adalah tahun kedua Ramadan bersama suami, lebih semangat karena bisa berpuasa bersama suami, memasak, dan berbuka bersamanya.
Tahun lalu, ga bisa ikut puasa karena hamilnya Kamila, sering mual dan muntah sehingga dokter belum mengizinkan untuk berpuasa.
Seperti pula tahun2 sebelumnya, Ramadan selalu membawa rahmat dan hidayah bagi kami sekeluarga. Salah astunya mengikuti pelatihan ESQ khusus untuk jurnalis dan keluarga besar ANTARA. Sebuah training yang awalnya ga membuatku bakal "pay attention" hehehe.
Lewat training itu akhirnya aku menyadari bahwa rasa rindu, rasa cinta, dan rasa memiliki yang selama ini untuk orang2 yang aku sayangi ternyata telah mengalahkan rasa Cinta kita aygn sesungguhnya pada Pemilik semesta ini.
Aku terdiam, berfikir, termenung, dan akhirnya tak kuasa lagi menahan air mata...melalui suara trainer yang terus menerus mengajak peserta training untuk menyebut Asma Allah.
*speechless*
Minggu, 04 April 2010
melihat kematian
sampai akhirnya hari ini, 4 April 2010, tetangga saya meninggal. Hati ini tak ingin datang ke rumah duka, tapi karena rumah beliau tepat di depan rumah saya, maka saya kuatkan hati untuk datang bertakziah.
Benar juga, air mata ini tak terbendung saat memasuki rumah si bapak yang mantan jaksa ini.
Saya akhirnya bisa mengendalikan diri dengan cara menarik nafas dalam2 dan istighfar. Perasaan kembali tenang.
Saya bukan orang yang kuat dan tabah melihat kematian. Mulai dari kehilangan kakak, nenek, dan Kamila, rasanya tak mampu berpisah dari mereka.
Suatu saat pernah saya terpaku dan terdiam, lalu mulai merenungkan, bahwa saya toh akan mati. Ayah, ibu, suami, adik, dan orang2 yang saya kasihi kelak akan kembali pd Allah. Semua yang ada di sekitar kita dan melekat dalam diri kita dalah milik Allah.
Melihat kematian menyadarkan saya akan banyak hal. Mendekatkan diri pada keluarga, berbakti pada suami dan orang tua (juga mertua). Mencoba lebih memelihara mulut dari perkataan kotor, memelihara hati agar tidak melakukan dan memikirkan hal2 yang dibenci Allah.
Melihat kematian membuat saya makin tegar menghadapi saat2 paling sulit dalam hidup saya. Dan bersyukur pula atas semua yang diberikan Allah hingga usia saya beranjak 30 tahun sekarang.
Alhamdulillah. Saya memiliki orang tua, mertua, suami, adik2, saudara, teman2 yang memahami dan menyayangi saya.
Ya Allah semoga kebahagiaan dan kedamaian hati senantiasa Engkau karuniakan pada mereka. Amiin.
Rabu, 24 Maret 2010
Belajar dari "Julie and Julia"
Julie diperankan Amy Adams, sedangkan Julia diperankan Meryl Streep. Film ini disutradarai Norah Ephron ("You've Got Mail", "Sleepless in Seattle", "Michael") sedangkan ceritanya diadaptasi dari buku karangan Julie Powel.
Ceritanya memang bukan soal perang2an atau cinta2an, tapi lebih dalam lagi dari itu. Ini adalah film tentang dua perempuan beda generasi, yang tak saling kenal dan sama-sama memiliki tantangan dalam hidupnya. Film ini mengisahkan bagaimana mereka belajar lewat pengalaman 2, mengenali kelebihan dan kekurangan diri, memaknai hidup serta mengejar kebahagiaan mereka.
Julie adalah seorang perempuan muda, telah menikah dan belum diberi keturunan. Ia menjadikan kegiatan memasak sebagai hobi dan penghilang stress. Jemarinya tampak luwes meracik makanan, tubuhnya dengan sigap dan cekatan bergerak ke sana ke mari mengambil panci, memotong sayur, mencuci bahan-bahan masakan, atau memasukkan daging ke dalam oven.
Di luar dapur mungilnya, Julie bekerja sebagai customer cervice sebuah perusahaan membuatnya merasa bosan karena setiap hari harus selalu duduk di belakang meja dan menjawab telepon saja. Sesungguhnya, Julie memiliki bakat menulis. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai editor sebuah majalah dan pernah menulis novel yang tak tuntas dikerjakan.
Kehidupannya makin membosankan ketika bertemu teman2nya yang sukses, sementara ia terpuruk dalam pekerjaan yang tak disukainya, serta keinginan untuk sebuah pengalaman hidup yang baru, yang lebih menantang.
Didorong rasa bosan dan keinginan kuat untuk mendapatkan kepercayaan dirinya kembali, Julie mulai memikirkan hal2 yang menjadi kelebihan dalam dirinya.
Sang suami, Eric Powell (diperankan Chris Messina) mengingatkan Julie tentang bakatnya menulis dan memasak. Meski awalnya menyimpan keraguan, Julie akhirnya mulai menulis di blog tentang masakan. Tak main2, ia memasang target dalam satu tahun harus membuat 524 resep masakan dari tingkat dasar hingga yang paling sulit.
Resep2 itu ada di buku tebal dari pengarang favoritnya, Julia Child yang berjudul "Mastering the Art of Cooking". Julie Powell menamai proyek ini “Proyek Julie/Julia” dalam 365 hari.
Secara teratur ia memposting kisahnya di blog beserta resep dan proses pembuatan masakan-masakan dari buku tersebut.
Segala emosi campur aduk selama proyeknya berlangsung. Kadang putus asa karena masakannya tak sempurna, atau hampir menyerah karena tak ada komentar yang masuk ke blognya.
Lalu siapa Julia Child yang amat dikagumi Julie?
Cerita kemudian dibawa mundur ke tahun 1950, saat di mana Julia tinggal bersama suaminya di Paris. Perempuan penyuka makanan Perancis dan hobi memasak ini memiliki latar belakang yang hampir sama dengan Julie.
Keduanya mendapat dukungan besar dari suami masing-masing dalam hal memasak. Julie dan Julia juga sama-sama menikmati berbelanja bahan2 memasak di pasar2 sambil menyapa para pedagang.
Julie dan Julia dalam kehidupannya masing-masing berupaya untuk memaknai hidup mereka, menemukan gairah hidup mereka, dan mengejar ambisinya masing-masing.
Julia tertantang menerbitkan buku memasak yang kemudian menjadi buku terkenal dan kemudian menjadi tantangan bagi Julie untuk menyelesaikan seluruh resep itu dalam satu tahun.
Berhasilkah Julie meyelesaikannya ?! Bagaimana liku-liku kehidupan Julia hingga menghasilkan buku best seller "Mastering The Art of Cooking"??. Buruan nonton filmya.
Bagi saya, Julie dan Julia mengingatkan bahwa hidup ini adalah sebuah proses, hidup ini berisi pilihan-pilihan, dan ketika kita sudah meniatkan diri melakukan sesuatu, maka lakukanlah dengan riang, sepenuh hati dan tak mudah menyerah.
kangen menulis :)
Dunia saya yang baru (baca: sebagai istri dan ibu rumah tangga) adalah dunia petualangan baru yang menyita waktu hehehe, sok sibuk niy ceritanya.
Saya dan suami berpacaran kurang dari tiga bulan, jadilah masa setelah menikah (25 Desember 2008) adalah saatnya pacaran lagi hehe.
Banyak perubahan terjadi sejak status di KTP tak lagi 'single'. Sejak menikah jadi mulai mikir harus bangun pagi dan memasak untuk sarapan suami hahaha, padahal namanya wartawan hiburan (liputannya malah hari melulu) lebih sering bangun siang daripada bangun pagi.
Penyesuaian itu juga termasuk perbedaan pendapat,perbedaan kebiasaan di rumah, dan masih banyak lagi yang lain. Sehingga kebiasaan menulis di blog jadi terlewatkan.
Sekarang, saat jemari saya mulai mengetik untuk blog ini, saya menyadari bahwa menulis tak hanya sekedar karena saya menulis, menulis bukan hanya karena saya baisa smembikin tulisan panjang untuk film, teater, atau konser yang baru saja saya saksikan. Tapi menulis adalah sebuah terapi bagi saya. Terapi untuk menyembuhkan jiwa yang pernah terluka dan tercabik2 ini (haiyaaa mellow gini gue :D).
So, here I am, start blogging again :))
Selasa, 23 Maret 2010
seperti terlahir kembali...
Sesungguhnya saya tak berani menjawab, bahkan tak ingin menjawab pertanyaan mereka tentang perasaan saya dan suami skrng atau tentang bidadariku Kamila. Setiap kali ingin menjawab, tenggorokan saya tercekat, mata saya mulai terasa panas dan berair. Rasanya ingin kubisikkan pada teman2ku: i'll be alright, i just need time. Time will heal :) but please, don't ask me about her now.
Sekarang ini, sejujurnya saya merasa tak seperti dulu lagi. Seperti terlahir kembali dengan keadaan yang berbeda, di mana saya harus belajar banyak hal dari nol lagi.
Sungguh tidak mudah, tapi juga tidak sulit karena saya berusaha keras untuk bangkit kembali.
Keterpurukan itu berawal dari kepergian putriku setelah 10 jam dilahirkan lewat operasi cesar. saya merasa terpukul, stres, depresi, lalu kekuatan fisik menurun drastis, dan mulailah penyakit2 menyerang.
Dua setengah bulan saya berjuang melawan bakteri yang menggerogoti lapisan kulit perut saya akibat infeksi pasca operasi cesar. Dalam jangka waktu tersebut, saya juga harus menjalani dua kali operasi, serta empat kali opname di rumah sakit.
Dokter mengatakan sakit saya tak bisa sembuh total, dan bahkan tak ada obat yang mujarab menyembuhkan.
Dalam keadaan lemah di atas pembaringan dan rasa kehilangan yang teramat dalam, saya bisikkan syukur pada Allah: ada suami dan keluarga besar saya yang memberi dukungan luar biasa. Alhamdulillah, mereka tak kenal lelah menyemangati saya agar segera pulih.
Teman2 di Facebook, teman2 di kantor bahkan atasan saya memberikan perhatian yang cukup besar pula. Semua itu membuat saya bertekad untuk bangkit kembali. Saya mulai makan teratur, minum obat2an herbal buatan bapakku tercinta, minum sari ikan gabus buatan mertua (yang amisnya minta ampun dan ga enak sama sekali hehehe). Saya juga selalu tekankan pada diri sendiri bahwa saya bisa sembuh, Allah sayang
1 Maret 2010 menjadi sebuah awal baru bagi saya. Untuk pertama kalinya saya keluar rumah, belajar berjalan, belajar duduk agak lama, dan belajar "bertemu" dengan orang lain (sejak Kamila pergi saya sempat menutup diri dari semua orang yang datang, saya tak sanggup melihat kesedihan di mata mereka atau menjawab pertanyaan tentang penyebab meninggalnya Kamila).
Pada sata itu pula saya injakkan kaki di pesawat Sriwijaya yang membawa saya kembali ke Jakarta. Luka bekas operasi masih sangat sangat nyeri, saya juga tak kuat berjalan atau berdiri agak lama. Tapi bapak yang mengantar saya ke Jakarta meyakinkan bahwa kelak saya bisa sehat lagi, bisa punya anak lagi, dan bisa lebih sabar serta tabah menghadapi persoalan hidup selanjutnya.
"Tidak semua orang bisa menjalani apa yang kamu alami sekarang, nduk. Kamu harus bersyukur Tuhan memberimu kekuatan untuk bangkit kembali. Jangan menyerah," kata bapakku dengan mata berkaca-kaca.
Proses adaptasi dan pembelajaran berikutnya adalah di kantor. Tak mudah masuk kerja pada hari pertama, saya "mendekam" di ruang Setper dan tak mau keluar ruangan terlalu sering. Lagi2 saya masih takut bertemu teman2, takut ditanya tentang Kamila, takut tak kuasa menahan air mata.
Hari kedua, saya datang dan pulang kantor dengan kepala tertunduk dalam2. Petugas keamanan gedung, pak satpam, resepsionis dll menyapa saya sambil menanyakan kabar, menanyakan Kamila, dan menanyakan bagaimana lucunya Kamila sekarang, atau sudah bisa apa Kamila sekarang.
Sungguh, saya ingin lari saat itu juga. Walaupun akhirnya saya jawab saja sebisanya, tanpa menjelaskan bahwa bidadariku itu telah pergi.
Bu Nana (my bos) mengatakan "pertanyaan teman2 itu adalah bentuk simpati dan rasa kasih sayang padamu, Desy. Jangan salahkan mereka atau jangan menghindar dari pertanyaan mereka. Hadapi dengan kuat,".
Yaaaa dan akhirnya saya bisa menghadapi itu semua. Belajar dan memulai semua dari awal lagi.
Sekali lagi, itu tak mudah. Kadang diam2 saya menitikkan air mata, teringat bagaimana Kamila di dalam perut selalu merespon lagu2 yang saya gumamkan, atau bergerak2 ketika saya ajak shalat dan mendoakan kami sekeluarga, atau ketika si ayah mengajaknya bicara.
Hmmmh....i told myself, life must go on, Des. Kamila is part of your life that you cannot forget. Save a place in your heart for her and pray to God, that you'll be together with her in heaven. Amiin.
mengalahkan rasa takut
Pokoknya takut pada banyak hal. Gila, saya hampir dibuat gila dengan rasa takut yang mendera diri dan membelenggu selama berbulan-bulan bahkan mungkin bertahun-tahun. Tak tau kapan rasa takut itu mulai datang, tapi saya benar-benar merasa akan melakukan kesalahan setiap kali melakukan sesuatu hal yang baru.
Karena rasa ini semakin mengganggu, saya coba memberanikan diri untuk mulai berpikir bagaimana mengalahkan rasa takut ini. Saya teringat DUFAN, yeah tempat "uji nyali" pikir saya :) mungkin buat sebagian orang langkah ini biasa saja, tapi buat saya yang jantungan dan takut ketinggian, mencoba permainan di Dufan bukan hal mudah (duuh ndesonya saya ini).
Begitu masuk ke Dufan, saya "warming up" dengan naik Bianglala. Well, ini sih biasa aja ya. Lalu mulai bergeser ke Kora-Kora yang sukses bikin saya ketawa ngakak karena geli dengan goyangan perahu raksasa itu. Meski banyak meremnya dibanding melek melihat perayu berayun, tapi setidaknya saya akhirnya berani naik Kora-Kora hahahaha.
Hmmmh, saya tak mau membuang waktu lama untuk mencoba Extreme Log, Rajawali, Halilintar, Niagara-gara, dan Arung Jeram.
Adik saya memberi selamat karena akhirnya berani juga naik roller coaster hehehe, dia belum tau aja tips cepat yang saya dapat waktu itu.
Dan.....akhirnya saya berhasil mengalahkan rasa takut saya. Kami pulang dari Dufan jam 8 malam. Puas rasanya. Apalagi saat di atas berbagai permainan itu saya bebas berteriak dan meluapkan emosi, meluapkan rasa takut saya hahaha. sungguh seru petualangan hari itu.
Sungguh, lebih dari sekedar jalan2.